TAHUN BARU MASEHI DALAM PANDANGAN ISLAM
TAK  terasa waktu terus berlalu dan 
kita sampai di penghujung tahun.  Beberapa saat lagi tahun 2011 akan 
menjadi kenangan dan tahun 2012 akan  menyambut kita semua. Malam 
pergantian tahun baru masehi sangat  ditunggu-tunggu oleh semua 
kalangan. Tidak saja dibelahan bumi lain  seperti di Eropa dan Amerika, 
masyarakat kita juga sibuk dan sangat  menanti-nantikan malam pergantian
 tahun tersebut.
Berbeda
  halnya dengan pergantian tahun baru hijriah, banyak masyarakat yang  
tidak merayakannya, bahkan sekadar tahu saja mereka mungkin tidak.  
Memang perayaan tahun baru hijriah tidak dituntut untuk merayakannya  
dengan menyalakan kembang api, meniup terompet, ataupun kumpul di pusat 
 kota dengan tujuan yang tidak jelas. Tetapi lebih kepada bagaimana  
memaknainya. 
Kita
  lebih dituntut untuk merefleksikan apa yang telah kita lakukan pada  
tahun sebelumnya, dan diharapkan lebih baik pada tahun selanjutnya.  
Sungguh ironis, hal tersebut terjadi di bumi Aceh yang mayoritas  
penduduknya beragama Islam. Masyarakat lebih mengenal dan menantikan  
detik-detik pergantian tahun baru masehi.
Melihat
  fenomena tersebut, penulis merasa tergugah untuk sedikit mengupas  
sejarah dan pandangan Islam terhadap tahun baru masehi. 
Sejak
  Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional.  
Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan.  
Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya  
bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal  
tahunnya.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).
Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).
Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
![[Janus.jpg]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlx_GW0eCUai6cYnfUkTRFYIKMGDIM6PChfSsI6ZQrQkvNxRaErJpY7A_QJgFo2LPrAdS1Rx-mzP917JsZbm7x9eKN9oFEvugHSimp4gNwGupYJPnJx-pR5MrFA-Om7tLOn2B5zzN3Cb8/s1600/Janus.jpg) Januarius
  (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama,  
diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu  
muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa  
Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai  
gerbang menuju tahun yang baru.
Januarius
  (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama,  
diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu  
muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa  
Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai  
gerbang menuju tahun yang baru.
Kedua,
  karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya 
 pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya libur. Di  
bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara  
menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat  
itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada
  1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 
 Januari 45 SM.
Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Firman
  Allah SWT dalam surah al-Furqan ayat 72, yang artinya: “Dan 
orang-orang  yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka 
bertemu  dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang 
tidak  berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan 
dirinya.”
Dalam
  ayat tersebut terdapat kata “al-Zur” (perbuatan-perbuatan yang tidak  
berfaidah). Menurut Ulama Tafsir, maksud al-Zur  adalah  
perayaan-perayaan orang kafir (Ibn Kasir, 6/130). Jelas dari pada ayat  
ini Allah melarang kaum muslimin menghadiri perayaan kaum muyrikin.
Hadis
  Sahih al-Bukhari dan Muslim berikut ini, sabda Rasulullah SAW yang  
artinya: “Sesungguhnya bagi setiap kaum (agama) ada perayaannya dan hari
  ini (Idul adha) adalah perayaan kita”. Oleh Syekh Ibnu Hajar  
Al-Asqalani menjelaskan maksud hadis tersebut bahwa dilarang melahirkan 
 rasa gembira pada perayaan kaum musyrikin dan meniru mereka (dalam  
perayaan). (Fathul Bari, 3/371).
Dalam
  adat masyarakat Aceh yang identik dengan nilai-nilai Islam, dulu hanya
  merayakan peringatan hari besar Islam saja seperti perayaan maulid dan
  tahun baru hijriah yang malamnya dihiasi dan dihidupkan dengan dalail 
 khairat di balee dan meunasah. 
Melihat
  sejarah, pandangan Islam serta adat Islami dalam masyarakat Aceh, 
tidak  ada celah sedikit pun bagi umat Islam untuk ikut merayakan atau 
sekadar  untuk mengucapkan “happy new years”. Pada kenyataannya, pada 
malam  tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan 
sayang untuk  dilewatkan. Muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di
 pusat kota  menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan 
sebagian orang  “haram” untuk dilewatkan.
Sudah sepantasnya umat Islam menghidupkan kembali syiar-syiar Islam. Jika tidak tradisi Islam akan tergerus tanpa ada yang peduli. Toh, kita semua ini manusia yang harus taat dan menjunjung tinggi aturan Allah. Tidak ada alasan untuk menafikan syiar-syiar Islam. Pantaskah kita menenggelamkan syiar Islam dan menghidupkan syiar budaya Barat?
