UU Penyiaran 2002 telah mengeluarkan amanat bagi berlangsungnya sistem penyiaran berjaringan di Indonesia.
Namun, tujuh tahun setelah dikeluarkannya UU, sistem pertelevisian
Indonesia sama sekali belum berubah. Kewajiban pembangunan jaringan
diabaikan begitu saja. Padahal sistem televisi berjaringan adalah sebuah
sistem yang jauh lebih demokratis, adil dan lebih membawa manfaat bagi
seluruh daerah di Indonesia.
Akhir tahun lalu, Menteri Komunikasi dan
Informatika menyatakan bahwa Sistem Stasiun Jaringan harus segera
dijalankan, dimulai dengan dibukanya pengajuan permohonan pelaksanaan
SSJ oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi (LPS TV) mulai
28 Desember 2009
Namun demikian, bila ini tak dikawal, kisah lama mungkin akan
berulang. Akhir tahun 2007, Menkominfo pun sudah menyatakan bahwa
pelaksanaan SSJ harus sudah dijalankan pada Desember 2009. Ternyata
dalam dua tahun terakhir, tak ada yang terjadi.
Karena itu, kali ini masyarakat sipil tak dapat membiarkan kewajiban
pengembangan SSJ bisa bergulir begitu saja, tanpa kerangka yang jelas.
Masyarakat harus melakukan tekanan publik agar pemerintah, Komisi
Penyiaran Indonesia, dan pelaku industri televisi swasta secara serius
menjalankan amanat UU ini.
Berikut ini adalah penjelasan ringkas tentang makna Sistem Televisi
Berjaringan dan mengapa sistem itu penting diterapkan di Indonesia.
Semoga membantu.
1. Apakah yang dimaksudkan dengan Sistem Televisi berjaringan?
Sistem televisi berjaringan adalah sistem penyiaran yang diamanatkan oleh UU Penyiaran 2002, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- Setiap stasiun televisi swasta memiliki jangkauan siaran terbatas
sesuai dengan wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan. Jadi, sebuah
stasiun televisi di Jakarta, jangkauan siarannya adalah Jakarta dan
sekitarnya.
- Tidak ada lagi stasiun televisi swasta nasional yang siarannya dapat
menjangkau seluruh wilayah indonesia secara langsung dengan menggunakan
stasiun relai/transmitter saja. Satu-satunya lembaga penyiaran televisi
yang diizinkan melakukan siaran nasional secara langsung adalah TVRI.
- Siaran sebuah stasiun televisi swasta dapat menjangkau daerah di
luar wilayah jangkauan siarannya hanya dengan perantaraan stasiun
televisi yang berada di wilayah tersebut. Sebagai contoh: agar siaran
stasiun televisi RCTI yang berada di Jakarta dapat ditangkap siarannya
di Bandung, di kota tersebut harus ada stasiun televisi yang berfungsi
sebagai anggota jaringan televisi RCTI.
- Stasiun televisi swasta yang hendak melakukan siaran nasional dapat
melakukannya dengan perantaraan rangkaian stasiun-stasiun televisi yang
terjalin dalam sebuah jaringan stasiun televisi. Dengan demikian, agar
siarannya dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, RCTI harus
memiliki jaringan stasiun televisi RCTI di seluruh wilayah Indonesia
tersebut
- Sejalan dengan itu, tak ada lagi izin siaran
nasional. Yang ada izin penyelenggaraan penyiaran yang hanya berlaku di
wilayah jangkauan siaran yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, sebuah
jaringan televisi nasional harus memiliki izin penyelenggaraan penyiaran
di setiap daerah yang dimasuki siarannya.
2. Apa yang salah dengan sistem pertelevisian saat ini?
Sistem penyiaran tersentralisasi yang selama ini berlangsung di
Indonesia mengandung banyak masalah. Ada sepuluh stasiun televisi di
Jakarta yang dapat bersiaran secara nasional dengan hanya menggunakan
stasiun-stasiun relai/transmitter di setiap daerah. Dalam sistem ini,
siaran sepenuhnya disiapkan, dibuat, dan dipancarkan dari Jakarta menuju
rumah-rumah penduduk di seluruh Indonesia dengan hanya diperantarai
stasiun relai di setiap daerah tersebut. Dengan demikian, apa yang
disaksikan oleh warga perumahan Pondok Indah di Jakarta, sampai ke
Bangkalan, Madura, sampai ke Palangkaraya, Lubukpakam, Aceh, Ujung
Pandang, sampai ke Manokwari sepenuhnya ditentukan oleh segenap stasiun
yang berlokasi di Jakarta.
Mengingat bahwa setiap masyarakat yang menetap di berbagai daerah
berbeda akan memiliki konteks budaya, politik dan ekonomi berbeda,
penunggalan siaran yang datang dari sebuah Pusat pada dasarnya
mengingkari keberagaman tersebut. Karena itu, dalam sistem jaringan ini,
setiap stasiun televisi yang menjadi bagian dari jaringan nasional
harus memuat program-program lokal, misalnya program berita lokal atau
program pendidikan lokal, dan sebagainya.
Namun yang terpenting dengan SSJ bukan hanya soal muatan lokal. Yang
sama penting aau lebih penting lagi adalah manfaat ekonominya. Dengan
sistem siaran yang tersentralisasi, uang iklan hanya mengalir ke
Jakarta. Segenap keuntungan ekonomi hanya terpusat di Jakarta. Di daerah
di luar Jakarta, masyarakat hanya menjadi penonton. Dalam sistem
pertelevisian terpusat seperti sekarang ini, tak mungkin ada stasiun
televisi di luar Jakarta yang dapat berkembang dengan sehat. Akibatnya
tak ada lapangan pekerjaan yang terkait dengan industry pertelevisian
terbuka. Tak ada dorongan untuk menumbuhkan rumah produksi, biro iklan
atau lembaga pendidikan yang terkait dengan dunia penyiaran di
daerah-daerah.
3. Bagaimana pengalaman negara lain?
Sistem pertelevisian yang terpusat seperti yang terjadi di Indonesia
saat ini lazimnya terjadi hanya di negara-negara dengan pemerintahan
otoriter, yang memang dicirikan oleh pemusatan kekuasaan. Ini pun
umumnya hanya berlangsung di negara-negara yang tidak mengembangkan
sistem pertelevisian komersial, dan tidak memiliki wilayah luas dengan
karakter budaya heterogen seperti yang dimiliki Indonesia. Di umumnya
negara lain yang juga memiliki wilayah luas, yang diterapkan adalah
sistem berjaringan. Ini diterapkan di AS, Kanada, Cina, India, Korea
Selatan, dan sebagainya.
Ambillah contoh Amerika Serikat. Di sana ada empat jaringan televisi
besar: NBC, ABC, CBS dan Fox. Siaran dari jaringan tersebut menjangkau
seluruh AS melalui rantai stasiun-stasiun lokal yang tergabung sebagai
stasiun afiliasi jaringan. Sebagian dari stasiun afiliasi tersebut
dimiliki oleh jaringan, tapi juga bisa berdiri sebagai perusahaan
sendiri. Karena itu di setiap daerah di AS, kita akan menemukan empat
stasiun televisi afiliasi yang isi siarannya merupakan kombinasi dari
isi siaran jaringan dan isi siaran lokal.
Di sejumlah negara lain, memang dikenal adanya stasiun televisi
nasional, tapi itu adalah stasiun televisi publik, seperti misalnya BBC
di Inggris. Di negara tersebut, siaran televisi komersial pun dibatasi
dalam jangkauan wilayah siaran tertentu.
4. Mengapa penataan penyiaran ini harus
dibedakan dengan penataan media cetak? Bukankah dalam hal penataan media
cetak, surat kabar dari Jakarta diizinkan untuk beredar sampai ke
setiap daerah dengan dikirim langsung dari Jakarta?
Media penyiaran tidak dapat disejajarkan dengan media cetak. Media
penyiaran beroperasi dengan menggunakan frekuensi yang jumlahnya
terbatas. Frekuensi siaran tersebut adalah ranah publik yang harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat yang
berdaulat atas frekuensi tersebut. Jadi bila kita gunakan Indonesia
sebagai contoh, frekuensi siaran di Jawa Barat seharusnya dimanfaatkan
untuk kepentingan publik Jawa Barat yang merupakan pemilik frekuensi
tersebut. Demikian pula dengan di Jakarta, Jawa Tengah, dan seterusnya.
Apa yang terjadi di Indonesia saat ini mengingkari asas manfaat
tersebut. Stasiun-stasiun televisi nasional di Jakarta dapat menjangkau
lebih dari seratus juta rakyat Indonesia dengan memanfaatkan frekuensi
siaran di berbagai wilayah tersebut tanpa membawa manfaat apa-apa bagi
masyarakat daerah tersebut, baik secara ekonomi, politik, budaya dan
sosial
5. Mengapa sistem siaran yang ada saat ini merugikan secara ekonomi?
Dengan sistem yang tersentralisasi sekarang ini, segenap keuntungan
ekonomi hanya terserap di Jakarta. Masyarakat daerah tidak memperoleh
manfaat ekonomi apa-apa dari sistem sentralistik ini. Puluhan triliun
rupiah belanja iklan televisi setiap tahunnya hanya terserap di Jakarta.
Bahkan pengusaha daerah yang ingin beriklan di daerahnya melalui
televisi harus mengirimkan uang ke Jakarta. Segenap rumah produksi, biro
iklan, dan industri pendukung pertelevisian lainnya hanya tumbuh di
Jakarta. Lapangan pekerjaan pertelevisian hanya ada di Jakarta.
Mahasiswa yang belajar disiplin ilmu komunikasi dan penyiaran di
perguruan tinggi luar Jakarta tidak akan memperoleh peluang bekerja
cukup luas di pertelevisian di daerahnya, dan harus pindah ke Jakarta
bila tetap ingin bekerja di dunia pertelevisian.
6. Efek politik?
Secara politik, penonton di setiap daerah di luar Jakarta tidak bisa
melihat dirinya dan tidak bisa memperoleh informasi yang relevan dengan
kepentingan di daerah mereka di layar televisi.
Agenda setting
(penetapam agenda) tentang apa yang disebut sebagai berita atau bukan
berita ditentukan dari Jakarta. Penduduk seluruh Indonesia harus
menyaksikan berita tentang tawuran di Jakarta Pusat, kecelakaan di jalan
tol Jakarta-Bogor, pameran mode di Jakarta; sementara segenap persoalan
ekonomi-politik-sosial kedaerahan tersimpan dalam-dalam. Lebih dari itu
proses pemaknaan, pemberian penafsiran terhadap peristiwa-peritiswa
tersebut ditentukan oleh kaum elit dari Jakarta. Yang tampil di
perdebatan terbuka adalah mereka yang tinggal dan berkembang di Jakarta.
Segenap masalah diteropong dari perspektif Jakarta. Talk-show televisi
hanya menghadirkan pembicara dari Jakarta, seolah-olah pakar daerah
tidak ada yang berarti.
Informasi yang menyangkut kepentingan publik di daerah luar Jakarta
tidak akan diperoleh penonton dari stasiun televisi Jakarta., kecuali
bila informasi tersebut bersifat sensasional dan dramatis. Pengamatan
tentang apa yang disebut sebagai berita non-Jakarta menunjukkan bahwa
berita daerah adalah berita negatif. Penjelasannya sederhana. Mengingat
stasiun televisi bersiaran nasional, berita tentang ‘daerah’ yang mereka
sajikan haruslah yang menarik perhatian seluruh penduduk indonesia.
Karena itu, berita tentang perkembangan politik atau kemajuan sebuah
daerah tidak memperoleh tempat karena dianggap hanya akan menarik
perhatian masyarakat lokal yang diberitakan. Yang dianggap bisa menarik
perhatian khalayak berbagai daerah sekaligus adalah berita-berita
negatif: kecelakaan, tawuran, skandal suap, dan informasi-infomasi
sensasional lainnya.
Tanpa informasi politik lokal, televisi tak dapat dimanfaatkan
sebagai media komunikasi politik yang dibutuhkan dalam pembangunan
demokrasi di Indonesia. Sudah menjadi proposisi umum bahwa agar
demokrasi tetap terjaga di setiap daerah, publik harus memperoleh
informasi memadai tentang lingkungannya. Dalam hal itu, masyarakat di
sebuah daerah tentu membutuhkan informasi tentang kondisi politik di
daerah itu, sementara informasi mengenai kondisi politik di daerah lain
akan dipandang sebagai ‘pelengkap’ semata. Dengan kata lain, menggunakan
contoh Indonesia lagi, masyarakat Jawa Barat akan membutuhkan informasi
mengenai perilaku gubernur Jawa Barat, atau anggota DPRD Jawa Barat,
sementara informasi mengenai perilaku Gubernur DKI Jakarta lebih
bersifat ‘pelengkap’. Hal ini tak dapat disajikan oleh apa yang disebut
sebagai televisi nasional yang berada di Jakarta.
7. Efek Budaya?
Demikian pula halnya dengan siaran kebudayaan dan hiburan. Indonesia
adalah sebuah negara luas dengan keragaman budaya yang kaya. Karena itu,
bisa dipahami, bila masyarakat Sumatra Barat sebenarnya berharap
menyaksikan di layar televisi musik atau tarian atau komedi khas
daerahnya, menyaksikan remaja mereka tampil dengan serba neka
kreativitasnya, atau bahkan menyaksikan penyiar yang tampan dan cantik
membawa acara dengan bahasa Indonesia berdialek Sumatra.
Keragaman budaya semacam itu tak tampil di televisi nasional yang
berada di jakarta. Gaya hidup yang ditampilkan sepenuhnya adalah gaya
hidup Jakarta. Program yang disajikan adalah yang sesuai dengan standard
norma dan nilai Jakarta. Gaya bicara Jakarta menjadi rujukan remaja di
seluruh Indonesia.
Dominasi budaya Jawa bahkan sempat terasa ketika untuk beberapa tahun
salah satu program yang nampaknya populer di beberapa stasiun televisi
besar adalah acara komedi Jawa, dalam beragam bentuknya: Ludruk,
Ketoprak, Srimulat dan beberapa epigon lainnya. Kadang bahkan ada
bagian-bagian yang sama sekali setia menggunakan bahasa Jawa, meski
dengan teks Indonesia. Tentu saja, alasan di belakang pertumbuhan
program-program sejenis adalah soal popularitas di kalangan konsumen
terbesar. Namun ada persoalan serius ketika acara-acara budaya Jawa
tersebut – atau kemudian, Betawi — disiarkan ke masyarakat Indonesia
yang begitu beragam budayanya
.
8. Efek sosial?
Sistem sentralisasi siaran ini tak senisitif dengan perbedaan kondisi
sosial. Muatan stasiun televisi swasta diarahkan untuk menarik penonton
yang cukup kaya untuk membeli barang-barang yang diiklankan di
kota-kota besar. Siaran ini dari Jakarta dipancarkan ke seluruh
Indonesia yang memiliki tingkat ekonomi sangat beragam. Bahkan petani di
Gunung Kidul pun harus menyaksikan pameran kemewahan setiap hari,
meskipun itu barangkali hanya dilihatnya melalui pesawat televisi kepala
desa.
9. Apakah dengan sistem televisi berjaringan, hak masyarakat menjadi lebih terlindungi?
Dalam sistem pertelevisian yang sentralistisi, tak ada hak masyarakat
di setiap daerah di luar Jakarta untuk mengendalikan isi siaran yang
beredar di daerahnya.. Bila masyarakat merasa bahwa ada isi siaran dari
televisi Jakarta yang tidak serasi dengan budaya daerah, mereka tidak
bisa melakukan apa-apa karena kantor stasiun televisi itu ada di
Jakarta. Kalau mereka protes, mereka harus berkirim surat ke Jakarta. Di
daerah masing-masing, yang ada hanyalah stasiun relai/transmisi yang
dijaga oleh segelintir teknisi.
Dengan sistem siaran jaringan, di setiap daerah terdapat stasiun
televisi anggota jaringan yang dapat ditemui langsung oleh masyarakat.
Saat memperoleh izin siaran di daerah tersebut pun, stasiun tersebut
sudah harus menyatakan komitmen akan memperhatikan kepentingan
nilai-nilai masyarakat setempat.
10. Mengapa sekarang tiba-tiba saja stasiun
dipaksa mengembangkan sistem berjaringan? Tidakkah ini terkesan ingin
mengubah atau membelokkan sejarah begitu saja?
Sebenarnya tidak ada pembelokan sejarah. Amanat sistem siaran
berjaringan ini sudah ditetapkan sejak 2002, tatkala UU Penyiaran
diluncurkan. Bahkan, UU Penyiaran menyatakan ada masa transisi dan
penyesuaian yang dapat berlangsung selama lima tahun. Jadi, seharusnya
sistem berjaringan ini sudah tuntas dijalankan sejak akhir 2007. Tapi
karena sikap stasiun-stasiun televisi swasta yang keras, amanat tersebut
tak kunjung bisa dijalankan.
Di sisi lain, amanat UU 2002 tersebut juga sebenarnya sekadar
mengembalikan perjalanan pertelevisian swasta di Indonesia ke arah yang
semula.
Coba saja kita lihat perkembangan radio dan televisi. Sejak awal
kelahiran stasiun radio komersial di awal Orde Baru, stasiun radio
beroperasi dengan jangkauan daerah terbatas. Masing-masing daerah
memiliki daftar nama stasiun radio berbeda. Bila ada stasiun yang
berupaya menjangkau khalayak dengan wilayah luas, itu harus dilakukan
dengan sistem jaringan.
Dalam hal pertelevisian, TVRI juga mengembangkan sistem jaringan.
Meskipun kita mengenal adanya TVRI Pusat, di banyak daerah siaran yang
diterima khalayak datang dari stasiun TVRI regional di daerah tersebut.
Stasiun TVRI regional memang menyajikan siaran dari TVRI Pusat selama
beberapa jam, namun juga menyajikan beberapa jam siaran daerah. Dengan
demikian, penonton di sana tetap dapat menyaksikan wajah-wajah biduan
dan biduanita lokal di layar televisi mereka.
Bahkan stasiun televisi swasta pun awalnya ditata dalam sistem
berjaringan. Di tahun-tahun awal kelahirannya, 1989-1990, stasiun
televisi swasta juga melakukan siaran terbatas. Stasiun televisi swasta
pertama, RCTI hanya dapat bersiaran dengan daya jangkau terbatas di
daerah Jakarta dan sekitarnya. Penontonnya pun harus berlangganan dan
membeli dekoder untuk dapat menangkap siaran RCTI. Stasiun televisi
kedua, SCTV, bersiaran di daerah Surabaya dengan isi yang sebagian besar
sama dengan RCTI. Dengan kata lain ketika itu, SCTV sebenarnya
merupakan semacam jaringan dari RCTI. Kemudian, RCTI mendirikan stasiun
afiliasi di Bandung, sementara SCTV mendirikan stasiun afiliasi di
Denpasar. Sistem penyiaran semacam itu dinamakan Siaran Saluran
Terbatas.
Perubahan terjadi ketika kemudian TPI berdiri dan diizinkan melakukan
siaran nasional. Stasiun televisi swasta tersebut mendapat keistimewaan
karena pemiliknya yang adalah anak perempuan tertua dari Presiden
Soeharto berdalih bahwa isi siarannya mengandung pendidikan yang penting
untuk para siswa di seluruh Indonesia. Gara-gara TPI dapat melakukan
siaran nasional, pemerintah terpaksa menerima desakan RCTI (yang
dimiliki anak Presiden Soeharto yang lain) agar mereka juga dapat
bersiaran secara nasional langsung dan gratis (tanpa dekoder) dari
Jakarta.
Akibat kekuatan para pengusaha stasiun televisi yang merupakan
kerabat dekat Presiden, sistem pertelevisian Indonesia berubah total.
Sejak 1991, semua stasiun televisi swasta di Indonesia sudah diizinkan
melakukan siaran nasional melalui jaringan transmisi teresterial. Ketika
tahun 1999 lima stasiun televisi swasta kembali diizinkan berdiri oleh
pemerintah pasca Orde Baru, seluruh stasiun tersebut juga langsung
beroperasi dengan orientasi menjadi stasiun televisi nasional.
Dengan demikian, terlihat bahwa yang menyebabkan berlangsungnya
sistem pertelevisian nasional terpusat ini adalah perilaku para pemodal
sendiri yang ingin memperoleh keuntungan besar tanpa ingin berbagi
dengan daerah.
Karena itulah, ketika reformasi berlangsung, berbagai kelompok
masyarakat berusaha mewujudkan gagasan-gagasan demokratisasi
penyiaran dan mengembalikan sistem penyiaran ke rel yang benar dalam UU
Penyiaran. Pada akhir 2002, setelah melalui perdebatan yang keras, UU
Penyiaran dilahirkan. Bila dipelajari isinya, UU Penyiaran 2002
sebenarnya berusaha mengubah secara mendasar sistem pertelevisian di
Indonesia, dari yang bercorak sentralistis menjadi desentralistis.
Perubahan ini jelas terjadi karena adanya kesadaran di kalangan para
pembuat UU tersebut bahwa apa yang diwariskan Orde Baru adalah sebuah
pilihan yang menjauhkan bangsa ini dari prinsip keadilan serta
pelestarian dan pengembangan keberagaman budaya yang merupakan kekayaan
tak ternilai. Perkembangan sistem pertelevisian komersial di Indonesia
sejak awal periode 1990an pada dasarnya tidak memfasilitasi
heterogenitas budaya dan sebaliknya, justru melahirkan homogenisasi di
seluruh Indonesia.
11. Mengapa selama ini stasiun televisi swasta yang memiliki jangkauan nasional hanya terdapat di Jakarta?
Di masa awal perkembangan televisi swasta, tatkala pemerintah
menetapkan bahwa jangkauan siaran televisi bersifat terbatas, beberapa
stasiun televisi swasta berdiri di luar Jakarta. Sebagai contoh, SCTV
semula berdiri di Surabaya dan ANTV di Lampung. Namun ketika pemerintah
mencabut ketetapan tentang jangkauan siaran terbatas tersebut, dengan
segera stasiun-stasiun televisi swasta tersebut memutuskan pindah ke
Jakarta. Ini dilakukan mengingat segenap industri pendukung penyiaran,
seperti periklanan, terpusat di Jakarta.
Belakangan pemerintah bahkan melarang pendirian stasiun-staiun
televisi lokal di luar Jakarta, nampaknya dalam rangka mencegah
persaingan yang dapat menghambat perkembangan stasiun-stasiun televisi
swasta Jakarta yang memang dimiliki oleh kalangan dekat Presiden. UU
Penyiaran 1997, setahun sebelum Soeharto mengundurkan diri, bahkan
menetapkan bahwa stasiun televisi swasta harus didirikan di Jakarta.
12. Apakah dengan sistem televisi berjaringan, masyarakat di luar Jakarta akan tetap menikmati siaran dari Jakarta?
Tentu saja. Sistem televisi berjaringan ini tidak akan melarang
stasiun televisi di Jakarta bersiaran ke daerah-daerah di luar Jakarta.
Yang diwajibkan adalah siaran dari Jakarta tersebut tak bisa dipancarkan
langsung dari Jakarta untuk ditangkap warga di luar Jakarta, namun
harus melalui perantaraan stasiun televisi yang berdiri di daerah
tersebut yang berposisi sebagai stasiun afiliasi.
13. Kalau masyarakat di luar Jakarta memang
lebih menyukai siaran dari Jakarta, mengapa mereka harus dipaksa
menyaksikan siaran dari daerahnya sendiri?
Tak ada paksaan sebenarnya. Dengan berkaca pada pengalaman di banyak
negara, pada kenyataannya nanti, mayoritas program yang tersaji di
stasiun-stasiun afiliasi tersebut adalah program yang datang dari induk
jaringan. Hanya saja, seandainya ada program dari induk jaringan yang
mungkin saja tidak dapat diterima secara budaya oleh masyarakat
setempat, program tersebut bisa saja dihilangkan dan diganti di daerah
tersebut. Dengan kata lain, bisa saja sebuah program gaya hidup yang
sangat permisif bisa saja ditayangkan di Jakarta dan di Bandung, tapi,
karena sensitivitas budaya, tak dapat ditayangkan di stasiun afiliasi
jaringan di Padang.
Jadi semua bergantung pada keputusan masyarakat setempat. Nantinya
akan ada stasiun afiliasi yang menyiarkan begitu saja 90 persen program
dari induk jaringan; tapi ada juga stasiun yang, karena pertimbangan
pasar dan budaya setempat, menyiarkan jumlah program lokal melampaui 20
persen.
14. Kalau memang peraturan mengenai sistem
televisi berjaringan ini sudah ditetapkan sejak 2002, mengapa sampai
sekarang kewajiban itu belum dilaksanakan?
UU Penyiaran memang tidak harus dijalankan segera sesudah UU itu
diluncurkan. Karena kesadaran akan rangkaian kesulitan yang mungkin
dihadapi oleh pelaku industri, UU Penyiaran 2002 sebenarnya memberi
tenggang waktu lima tahun bagi stasiun televisi untuk melakukan
penyesuaian. Para pembuat UU nampaknya percaya bahwa dalam waktu yang
cukup lama tersebut, stasiun-stasiun televisi komersial dapat membangun
sistem jaringan yang diamanatkan UU secara perlahan-lahan.
Namun amanat ini terus menerus ditolak industri penyiaran. Sejak
kelahiran UU Penyiaran 2002, secara kolektif, stasiun-stasiun
tersebut berupaya agar UU tersebut tidak dapat dijalankan.
Mereka misalnya berkampanye dengan menuduh UU tersebut sebagai ancaman
terhadap kebebasan berekspresi dan mengancam kesehatan industri
pertelevisian. Mereka juga mengajukan permohonan agar Mahkamah
Konstitusi untuk membatalkan UU tersebut. Namun, bahkan ketika MK
menolak permintaan tersebut, stasiun-stasiun televisi komersial tetap
menolak untuk menjalankan kewajiban untuk menghentikan
siaran nasional dan kewajiban mengembangkan jaringan stasiun televisi di
berbagai kota.
Celakanya, pemerintah sendiri nampak mudah sekali disetir oleh
kepentingan industri pertelevisian tersebut. Pada 2005 misalnya,
Menkominfo mengeluarkan peraturan pemerintah tentang lembaga penyiaran
swasta yang tak mewajibkan berlangsungnya perubahan mendasar tersebut.
Pemerintah seperti membiarkan saja perkembangan tersebut. Ketika pada
2007 disadari bahwa sebenarnya amanat UU tersebut sudah harus
diterapkan, pemerintah kembaki mengeluarkan keputusan yang menyatakan
menunda kewajiban pelaksanaan sistem televisi bejaringan sampai Desember
2009. Akhirnya, di akhir 2009, Menkominfo Tifatul Sembiring menyatakan,
amanat itu harus segera dijalankan. Masalahnya, kerangka waktunya juga
tak ditetapkan secara tegas.
15. Apakah keputusan sistem televisi
berjaringan ini cukup adil bagi para pemilik dan pengelola stasiun
televisi nasional di Jakarta yang selama ini sudah terlanjur melakukan
penyiaran nasional secara langsung dari Jakarta?
Tentu saja stasiun-stasiun televisi nasional di Jakarta harus
melakukan penyesuaian yang pasti memakan biaya ke dalam sistem baru ini.
Namun investasi tersebut memang tak terelakkan agar sistem penyiaran
dapat berlangsung secara adil. Setiap tahun ada puluhan triliun belanja
iklan yang dikucurkan ke stasiun-stasiun televisi swasta di Jakarta.
Pemasukan iklan stasiun-stasiun televisi Indonesia terus tumbuh pesat.
Menurut data Media Scene (Volume 19: 2007/2008), pemasukan iklan stasiun
televisi pada 2007 mencapai sekitar Rp. 23 triliun. Padahal pada 2003,
angka itu baru mencapai Rp. 11 triliun. Ini terjadi karena daya jangkau
siaran yang bersifat nasional. Masalahnya, setelah mengeruk keuntungan
begitu besar, tak ada sedikit pun keuntungan ekonomi disalurkan ke
daerah-daerah non-Jakarta tersebut.
Dengan demikian, justru keadilan akan tercipta kalau sistem
pertelevisian yang diterapkan adalah sistem pertelevisian berjaringan.
Dari sisi ekonomi saja, sistem penyiaran berjaringan akan memaksa
hadirnya stasiun-stasiun televisi afliasi di setiap daerah yang akan
mempekerjakan puluhan pekerja media, akan mendorong lahirnya Rumah
Produksi di setiap daerah, mendorong lahirnya periklanan televisi lokal,
mendorong lahirnya lembaga pendidikan pertelevisian, dan sebagainya.
Ini semua pada gilirannya, akan turut mendorong pergerakan roda ekeonomi
daerah.
Harus diakui ini memang bukan hal yang mudah dan dapat segegara
dilaksanakan di seluruh Indonesia. Stasiun-stasiun televisi nasional di
Jakarta adalah pihak yang paling terkena dampaknya. Sistem sentralistis
sangat menguntungkan mereka secara ekonomi, karena belanja iklan yang
berjumlah lebih dari duapuluh triliun rupiah tersebut dapat dikuasai
sepenuhnya di Jakarta. Dengan sistem desentralistis ini, stasiun-stasiun
Jakarta harus mulai mendirikan stasiun televisi di setiap daerah atau
mencari mitra stasiun televisi lokal yang bersedia menjadi bagian dari
jaringan. Di sisi lain, segenap keuntungan yang diperoleh dari
pemasukan iklan pun harus dibagi dengan daerah.
16. Apakah penerapan sistem televisi berjaringan ini tidak akan membebani stasiun televisi nasional dari Jakarta?
Tentu saja akan ada beban tambahan. Namun selama ini ada penggambaran
yang akan berlebihan mengenai beban tersebut. Sebagai contoh,
seringkali juru bicara industri menyatakan bahwa untuk mendirikan
stasiun televisi anggota jaringan di setiap daerah diperlukan dana
pendirian stasiun sampai puluhan miliar rupiah.
Ini tentu berlebihan, karena sebenarnya pendirian stasiun televisi
afiliasi yang mayoritas isi siarannya sudah disediakan oleh induk
jaringan tidaklah terlalu besar. Apalagi, transmitternya sudah tersedia.
Pengeluaran terbesar dalam pengoperasian stasiun televisi adalah dalam
hal pembiayaan program. Bila stasiun afiliasi tersebut hanya perlu
mengisi 10 persen isi siaran, biaya yang diperlukan jauh lebih rendah.
Dan jangan lupa, sambil berjalannya waktu, akan ada pemasukan iklan
lokal.
Namun harus jujur dikatakan, paling tidak di masa-masa awal,
stasiun-stasiun televisi swasta pusat memang harus mengeluarkan biaya
yang akan mengurangi tingkat keuntungan mereka. Namun mengingat selama
ini stasiun-stasiun televisi tersebut sudah menikmati puluhan triliunan
rupiah setiap tahun, seharusnya tak menjadi masalah bila stasiun-stasiun
tersebut kini harus berbagi dengan daerah.
17. Apakah masyarakat non-Jakarta siap mendirikan stasiun-stasiun lokal untuk menjadi anggota jaringan?
Sumber daya di berbagai daerah di luar Jakarta tak kalah dari sumber
daya di Jakarta. Tentu saja harus ada penyesuaian, tapi hanya dalam
beberapa bulan standar kualitas yang diharapkan pasti akan tercapai.
Tatkala pertama kali lahir pun, kualitas siaran RCTI pada 2009 masih
sangat rendah. Namun sambil berjalannya waktu terjadi perbaikan demi
perbaikan.
18. Siapakah yang berhak menjadi pemilik stasiun-stasiun televisi anggota jaringan?
UU Penyiaran 2002 tak mewajibkan stasiun televisi anggota jaringan
didirikan dengan modal lokal. Dengan kata lain, sebenarnya bisa saja
stasiun-stasiun anggota jaringan tersebut didirikan oleh pemodal yang
memiliki induk jaringan di Jakarta.
Satu-satunya pasal yang bicara tentang ini adalah pasal 31 yang
menyatakan “mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun
penyiaran lokal diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun
lokal itu berada”.
Dalam hal ini, penting dicatat bahwa pasal ini hanya menyatakan
“diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu
berada”. Dengan kata lain, tak ada kewajiban yang melarang pemilik
modal Jakarta mendirikan stasiun penyiaran lokal.
Kedua, UU ini juga sebenarnya membedakan antara “stasiun penyiaran
jaringan” dan/atau “stasiun penyiaran lokal”. Dalam hal ini bisa saja
interpretasi bahwa yang pemilik modal awal dan pengelolaannya diutamakan
kepada masyarakat lokal adalah “stasiun lokal” dan bukan “stasiun
penyiaran jaringan”.
19. Kalau memang sebagian besar isi siaran
televisi berjaringan tetap dari Jakarta, tidakkah itu berarti tak
mengubah penjajahan budaya yang dikhawatirkan?
Yang membedakan sistem penyiaran berjaringan dengan sistem penyiaran
sentralistis seperti sekarang ini dalam hal isi siaran adalah dalam hal
kewenangan bagi masyarakat untuk memilih. Di sistem sentralistis,
stasiun Jakarta akan mengirimkan dan mencekoki masyakat non-Jakarta
dengan isi sisran yang sepenuhna didikte dari Jakarta. Dalam sistem
berjaringan, masyarakat bisa memilih untuk meminta stasiun televisi
untuk menampilkan isi yang seuai dengan kebutuhan setempat serta menolak
kalau ada isi siaran yang bertentangan dengan konteks budaya-sosisl
setempat.
Mungkin saja ada masyarakat-masyarakat yang akhirnya tetap menerima
untuk menyaksikan 90 persen tayangan dari Jakarta, tapi itu adalah
pilihan mereka.
20. Kalau memang kekuatirannya adalah dominasi oleh Jakarta, mengapa jalan keluarnya adalah sistem televisi berjaringan? Mengapa bukan didorong saja pendirian stasiun-stasiun televisi lokal?
Sejak reormasi, di berbagai provinsi memang sudah berkembang
stasiun-stasiun televisi lokal. Hanya saja stasiun-stasiun lokal ini
sebenarnya tak bisa berkembang dengan sehat. Masalah utamanya,
stasiun-stasiun televisi lokal ini harus bersaing dengan stasiun-stasiun
televisi dari Jakarta yang memiliki jangkauan siaran nasional. Dapat
dikatakan, persaingan yang terjadi sangatlah tidak berimbang. Bila
stasiun televisi lokal diizinkan berdiri, tapi ia harus berhadapan
dengan stasiun televisi nasional sebagai kompetitor di pasar yang sama,
hampir bisa dipastikan stasiun televisi lokal akan hancur atau
setidaknya tidak akan bisa berkembang dengan sehat.
Penyebab utamanya adalah iklan. Stasiun televisi swasta hidup dari
pemasukan iklan. Bila ada persaingan seperti yang digambarkan, pengiklan
yang bisa diharapkan stasiun lokal hanyalah pengusaha-pengusaha lokal
yang mengarahkan perhatian pada pasar lokal. Semua pengiklan yang sedang
berusaha mengkampanyekan produk secara nasional akan memilih stasiun
yang dapat bersiaran nasional. Unilever misalnya akan enggan berhubungan
dengan stasiun lokal di Palembang, kalau mereka sudah menggunakan,
misalnya, SCTV Jakarta yang siarannya mencapai penonton kota itu.
Jangkauan siaran menjadi penting karena pengiklan akan senantiasa
menjadikan jumlah penonton sebagai indikator utama penempatan iklan.
Data 2007 menunjukkan stasiun-stasiun televisi swasta nasional itu
umumnya menjangkau sekitar 100 juta penonton potensial di seluruh
Indonesia. Yang daya jangkaunya terluas adalah SCTV (117 juta), RCTI
(115 juta) dan Indosiar (113 juta). Yang paling rendah daya jangkaunya
adalah ANTV (87,4 juta penonton).
Ini bisa tercapai karena stasiun-stasiun televisi nasional di jakarta
tersebut membangun puluhan stasiun transmisi di seluruh Indonesia, dari
Nangroe Aceh Darussalam sampai Papua. Sebagai contoh RCTI memiliki 48
transmisi, SCTV 47 transmisi, Indosiar 34, dan Metro 53 transmisi.
Akibatnya jumlah penonton program-program yang mereka sajikan pun
tentu sangat menarik di mata para pengiklan yang sedang berusaha
memasarkan produk ke seluruh Indonesia. Kendati harga tarif iklan yang
ditetapkan bisa sangat mahal (misalnya Rp. 10 juta per 30 detik iklan di
jam-jam tayang utama), itu tidak terasa terlalu mahal mengingat daya
jangkaunya yang sangat luas.
Sebagai contoh, acara unggulan di RCTI pada 2007 adalah sinetron ‘
Cahaya’.
Menurut data Media Scene, jumlah penontonnya di sembilan kota besar
yang diteliti mencapai sekitar 2,5 juta orang. Ini baru di sembilan
kota. Bila digabungkan dengan daerah-daerah lainnya, jumlahnya akan
berlipat.
Sekarang bandingkan dengan stasiun televisi lokal terbesar, JTV di Surabaya. Program unggulannya pada 2007,
Pojok Kampung Berita Boso Surabaya, ‘hanya’ ditonton 38 ribu orang. Atau di Jakarta, O Channel. Program dengan penonton terbanyaknya pada 2007 adalah film
‘Godzilla’,
yang disaksikan 69 ribu penonton saja. Yang dikutip tersebut hanyalah
program-program unggulan mereka. Jumlah penonton untuk program-program
lainnya akan jauh lebih rendah lagi.
Implikasinya sangat serius. Dengan jumlah penonton yang terbatas,
stasiun televisi lokal tidak bisa menetapkan tarif iklan tinggi.
Akibatnya, sebuah program yang bisa mendatangkan pemasukan iklan Rp. 1-2
juta saja sudah tergolong program yang membawa keuntungan yang lumayan.
Padahal stasiun tersebut harus membiayai sekitar 20 jam siaran, yang
banyak di antaranya jumlah penontonnya terlalu kecil untuk bisa menarik
pengiklan.
Sebagai perbandingan, bila pengiklan diperkirakan hanya mengeluarkan
uang Rp. 5.770 untuk mencapai 1.000 penonton di program unggulan RCTI
dan Rp. 5.310 untuk mencapai 1.000 penonton di program unggulan SCTV;
maka untuk 1.000 penonton program O Channel, uang yang harus dikeluarkan
adalah Rp. 66.140 (Media Scene 2008).
Pemasukan iklan total antara televisi nasional dan televisi lokal pun
menjadi tak sebanding. Pada 2007, pemasukan iklan RCTI mencapai Rp. 3,4
triliun; SCTV Rp. 3,1 triliun; Trans TV Rp. 2,8 triliun dan TPI Rp. 2,4
trilliun; sementara JakTV Rp. 180,6 miliar; O Channel Rp. 117 miliar;
JTV Rp. 52 miliar; Space Toon Rp. 48 miliar. Dengan demikian terlihat
pemasukan iklan RCTI sebulan saja jauh melampaui pemasukan iklan
stasiun-stasiun televisi lokal setahun.
Satu hal yang perlu dicatat dari data di atas, stasiun televisi lokal
yang memperoleh penghasilan cukup besar tersebut adalah
stasiun-stasiun yang bersiaran di kota yang cukup kaya seperti Jakarta
dan Surabaya. Bila perhatian dialihkan ke stasiun televisi loal di kota
lebih kecil, angka pemasukan iklan itu akan jauh lebih rendah lagi.
Sebagai contoh, pemasukan iklan Jogja TV selama 2007 hanyalah Rp. 12
miliar. Di kota-kota kecil lain kondisinya akan lebih memprihatinkan.
Hasil akhirnya adalah persaingan yang sama sekali tak seimbang. Bila,
seperti kasus Jogya TV, pemasukan iklan per hari mereka ‘hanya’
mencapai Rp. 30 juta rupiah, hampir tak mungkin mereka memiliki daya
saing yang memadai. Program-program harus diproduksi sendiri dengan
biaya murah, dengan menggunakan teknologi produksi dan penyiaran yang
terbatas, dengan memberi imbalan terbatas pada para pekerja media.
Akibatnya yang tampil adalah program-program ‘amatiran’ yang dibuat
dengan dana, keterampilan, fasilitas, dan waktu terbatas.
Di awal, barangkali saja penonton masih banyak karena faktor
antusiasme. Namun bila itu terus berlangsung, tak mungkin stasiun lokal
mencegah penonton beralih dan terpaku kembali menyaksikan siaran
televisi dari Jakarta. Ketika penonton harus memilih antara menonton
program yang datang langsung dari Jakarta yang diproduksi dengan biaya
tinggi dan program stasiun lokal dengan segenap keterbatasannya, hampir
pasti mayoritas penonton memilih menyaksikan acara dari Jakarta. Bila
ini terjadi, bahkan pengiklan lokal akan berhenti beriklan di televisi
lokal. Pada titik itu, kebangkrutan menjelang.
Sistem televisi berjaringan menawarkan jalan keluar yang saling
menguntungkan. Idealnya, stasiun-stasiun televisi lokal tersebut tak
perlu menjadi stasiun-stasiun independen yang membiayai diri sendiri.
Sebagaimana di banyak negara maju, stasiun-stasiun televisi lokal
berposisi sebagai stasiun televisi afiliasi jaringan nasional. Dengan
demikian, mayoritas program yang disiarkannya tidak berasal dari stasiun
televisi lokal itu, melainkan datang dari induk jaringan. Hanya sekian
puluh persen yang diproduksi sendiri oleh stasiun lokal tersebut.
Dengan cara ini, stasiun televisi lokal dapat tumbuh sehat. Mereka
membawa program-program unggulan dari jaringan. Mereka bisa mengisi
jam-jam siaran lokal dengan program yang cukup berkualitas karena dapat
dibayai dengan cukup. Mereka bisa memperoleh sebagian dari pemasukan
iklan yang diperoleh induk jaringan. Mereka juga bisa memperoleh
pemasukan dari iklan lokal.
Halnya stasiun induk jaringan juga akan memperoleh keuntungan dalam
jangka panjang, terutama kalau mereka juga memiliki setidaknya sebagian
saham stasiun televisi lokal yang menjadi bagian dari jaringan tersebut.
Bila stasiun-stasiun televisi lokal itu tumbuh yang berjalan seiring
dengan kondisi ekonomi lokal di setiap daerah, jaringan tersebut akan
memperoleh keuntungan bersama.
21. Tidakkah sistem televisi berjaringan akan mendorong disintegrasi bangsa?
Tak ada alasan untuk mengkhawatirkan itu. Khalayak teleevisi
Indoensia akan tetap menyaksikan program-progran yang sama dari induk
jaringan. Hanya saja, dengan sistem berjaringan, khalayak juga akan
menyaksikan isi siaran yang dibutuhkan masyarakat daerah tersebut.
22. Adakah peraturan yang lebih terperinci mengenai proses ke arah pengembangan sistem televisi berjaringan?
Sebenarnya pemerintah wajib mengeluarkan perturan yang akan
memfasilitasi perkembangan sistem televisi berjaringan. Namun sayangnya
peraturan yang dikeluarkannya justru menghambat atau tidak mendorong
berjalannya proses tersebut.
Sebagai contoh pada 2005, pemerintah mengeluarkan ketetapan yang
menyatakan bahwa seluruh stasiun televisi swasta yang memiliki izin
nasional harus melakukan penyesuaian izin kepada Menteri. Ketetapan ini
justru tidak mendorong masing-masing stasiun televisi tersebut untuk
mengurus Izin Penyelenggaraan Penyiaran ke setiap daerah. Akibatnya,
stasiun-stasiun nasional tersebut dengan nyaman tidak mengembangkan
jaringan stasiun seperti yang diperintahkan UU, melainkan sekadar
melapor ke Menteri dan melakukan penyesuaian izin.
Baru pada akhir 2009, Menkominfo mengeluarkan peraturan yang
menyatakan bahwa pengajuan permohonan pelaksanaan Sistem Stasiun
Jaringan (SSJ) oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi
(LPS TV) mulai dilakukan 28 Desember 2009. Ini pun tanpa kerangka waktu
yang jelas.
23. Adakah peraturan yang lebih terpeinci mengenai muatan lokal yang wajib tersaji dalam stasiun televisi jaringan?
Soal isi siaran lokal, baru diatur dalam Keputusan menteri tahun
2009. Dalam Keputusan tersebut dinyatakan bahwa stasiun jaringan wajib
menyajikan muatan lokal 10 persen dari keseluruhan jam siarannya. Secara
bertahap, muatan lokal ini harus dinaikkan menjadi 50%.
Lagi-lagi, dalam hal ini, tak ada kerangka waktu yang jelas.
24. Adakah peraturan yang lebih terperinci mengenai daya jangkau siaran?
Dalam PP No. 50/2005 sebenarnya ada ketentuan mengenai daya jangkau
siaran. Namun isinya justru terkesan tidak realistis dan tak dapat
dipahami alasannya. Dalam PP (pasal 36) tersebut dinyatakan:
- Jangkauan wilayah siaran maksimal paling banyak 75% dari jumlah
provinsi di Indonesia, … kecuali yang telah mengoperasikan stasiun
relai di lebih dari 75% provinsi di Indonesia (menjadi boleh
mencapai 90%)
- Maksimal 80% terletak di daerah ekonomi maju yang lokasinya dapat dipilih sendiri
- Minimal 20% berada di daerah ekonomi kurang maju dan lokasinya ditetapkan oleh Menteri
Yang sulit dipahami di sini adalah alasan yang mendasari ketetapan 75
persen tersebut. Bila peraturan ini diterapkan, berarti ada 25%
provinsi di Indonesia tak boleh dijangkau oleh, misalnya, SCTV atau
Trans atau Global atau yang lainnya.
25. Adakah peraturan yang lebih terperinci mengenai kepemilikan saham?
Dalam PP No. 50/2005 sebenarnya ada ketentuan mengenai kepemilikan
saham. Namun isinya justru tidak tidak realistis dan tak dapat dipahami
alasannya. Dalam Pasal 32 PP tersebut, dinyatakan bahwa satu badan
hukum:
- Paling banyak memiliki saham 100 persen pada badan hukum ke satu
- Paling banyak memiliki saham sebesar 49 persen pada badan hukum kedua
- Paling banyak memiliki saham sebesar 20 persen pada badan hukum ketiga
- Paling banyak memiliki saham sebesar 5 persen pada badan hukum keempat
Ketetepan semacam ini akan mempersulit stasiun televisi mengembangkan
sistem jaringannya. Sebagai contoh, stasiun TPI misalnya bila memiliki
100% saham di TPI Jakarta, ketika dia membuka stasiun televisi afiliasi
di Bandung, TPI hanya boleh memiliki saham 49 persen. Ketika membuka
stasiun televisi afiliasi di Semarang, sahamnya semakin turun menjadi 20
persen. Dan ketika membuka stasiun televisi afiliasi di Surabaya,
sahamnya tinggal 5%.
Penataan semacam ini tak akan mendorong berkembangnya sistem
berjaringan, karena menghambat ruang gerak bisnis stasiun televisi
Jakarta tanpa perlu. Ketetapan semacam ini seperti memusuhi
pemodal-pemodal Jakarta. Di sisi lain, tidaklah mudah untuk mencari
pegusaha-pengusaha di setiap daerah untuk mengisi kekurangan modal
sebagaimana yang diatur tersebt.
26. Bila setiap stasiun televisi harus
mengurus perizinan di setiap daerah, tidakkah itu membuka ruang bagi
berlangsungnya korupsi dan pemerasan di setiap daerah?
Tentu saja kemungkinan itu ada. Karena itu proses perizinan harus
dilakukan secara setransparan mungkin. Dalam hal ini, harus ada
pemantauan untuk turut mengawal berlangsungnya penegakan hukum secara
benar. Stasiun-stasiun televisi harus diberi hak untuk bertanya dalam
proses perizinan yang dijalani mereka.