Hukum Nadzar
Apa sebenarnya hukum syari'at mengenai nadzar?
Secara syari'at, hukum nadzar adalah makruh. Dalam hal ini ada hadits shahih dari Nabi, bahwa beliau melarang melakukan nadzar.
"Sesungguhnya
ia tak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan
(bersumber) dari orang yang bakhil."(HR.Bukhari, al-iman: 6608-6609;
Muslim, an-nadzar: 1639-1640)
Hal itu karena sebagian orang
bila sudah sakit, rugi, atau disakiti barulah ia bernadzar akan
melakukan sedekah, menyembelih qurban, atau menyumbang uang bila nanti
telah disembuhkan dari penyakit atau tidak merugi lagi. Dia
berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyembuhkannya atau membuatnya
beruntung kecuali bila dia melakukan nadzar tersebut. Maka dalam hadits
tersebut, Nabi memberitahukan bahwa Allah tidak akan merubah sesuatu
pun dari apa yang telah Dia takdirkan akan tetapi hal itu adalah
perbuatan orang bakhil, orang tidak mau berinfaq kecuali setelah
memasang nadzar.
Bila nadzar tersebut berupa ibadah seperti
shalat, puasa, sedekah atau i'tikaf maka harus ditepati. Tetapi bila ia
bernadzar maksiat, seperti membunuh, berzina, minum khamr atau
semisalnya maka tidak boleh menepatinya tetapi dia harus membayar
kafarat sumpah, yaitu memberi makan sebanyak sepuluh orang miskin dan
sebagainya.
Bila nadzar tersebut sesuatu yang mubah
(diperbolehkan) seperti makan, minum, pakaian, berpegian, ucapan biasa
atau semisalnya maka dia diberikan pilihan antara menepatinya atau
membayar kafarat sumpah. Bila berupa nadzar melakukan ketaatan kepada
Allah, maka dia harus mengalokasikannya kepada kaum miskin seperti
makanan, menyembelih kambing atau semisalnya. Dan jika ia berupa amal
shalih yang bersifat fisik atau materi seperti jihad, haji, dan umrah,
maka dia harus menepatinya.
Bila dia mengkhususkannya untuk
suatu pihak maka dia harus menyerahkannya kepada pihak yang telah
dikhususkan tersebut seperti masjid, buku-buku, atau proyek-proyek
kebaikan dan tidak bileh mengalokasikannya kepada selain yang telah
ditentukan tersebut.
Sumber : Majalah Islam Ar-Risalah dengan sedikit pengeditan
Dari uraian yang dikutip dari majalah di atas, dapat kita
simpulkan bahwa sebagai orang Islam, sebaiknya kita tidak melakukan
nadzar, nadzar yang baik sekalipun. Sebab, dibalik nadzar tersebut,
kita telah seolah-olah memperbudak Allah. Lha kok? Mari kita renungkan
sejenak.
Bisa dibilang, tujuan utama kita bernadzar adalah
agar permintaan kita dikabulkan oleh Allah. Bila tidak dikabulkan, maka
kita tidak melakukan nadzar kita. Sedang bila dikabulkan, maka kita
akan melakukan nadzar kita.
Dari uraian paragraf di atas,
bisa kita ambil analogi sebagai berikut. Seorang bos meminta pegawainya
mengerjakan suatu tugas. Ia menjanjikan kepada pegawainya itu, bahwa
dia akan diberi bonus bila dia dapat mengerjakan tugas dengan baik.
Bila dia gagal mengerjakannya, maka dia tidak mendapat bonus. Bila dia
mampu, maka si bos akan menepati janjinya untuk memberinya bonus.
Anda
tentu sudah paham dan dapat menebak siapa yang dianalogikan sebagai bos
dan siapakah pegawainya. (Tiada maksud dan tujuan untuk merendahkan
Dzat yang Maha Tinggi, Allah SWT. dan tidak pula untuk meninggikan
makhluk yang hina, manusia.)
Bila Anda telah membaca hingga
paragraf ini, maka Anda pasti akan setuju dengan hadits Nabi di atas
bahwa "Sesungguhnya ia tak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia
hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil."
Apakah kita tetap akan memperkerjakan Allah sebagai pegawai?
Apakah kita sadar, bahwa sesungguhnya Allah tidak memerlukan semua yang kita nadzarkan?
Dan bukankah beramal itu hanya ada dua syarat, yaitu mengikuti petunjuk Nabi dan ikhlas?
Bila
Anda setuju bahwa syarat beramal itu hanya dua hal di atas, lantas
mengapa Anda membuat syarat-syarat lain untuk beramal (dengan nadzar)?
Apakah Anda ingin memperkerjakan Pencipta Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar