Pentingnya Bershalawat Kepada Baginda Rasul Muhammad SAW.
Membaca shalawat merupakan ungkapan kecintaan seseorang kepada kanjeng Nabi Muhammad. Kegiatan ini di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, banyak dilakukan dalam bentuk ritual keagamaan. Sementara di wilayah perkotaan negeri ini, shalawat banyak dijadikan lirik dalam tembang religius, sebagaimana tampak marak akhir-akhir ini. Dan setiap tahun, masyarakat Muslim Indonesia merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad dengan menyenandungkan shalawat bersama-sama. Itu semua merupakan ekspresi kecintaan umat Muslim terhadap Sang Nabi Terakhir.
Salah satu ritual pembacaan shalawat yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah membaca Kasidah Burdah, atau yang biasanya disebut burdahan. Di pesantren-pesantren, Kasidah Burdah dibaca secara rutin setiap malam jum’at atau malam senen. Tidak hanya itu, di kala sedang mengadakan hajatan atau sedang menghadapi situasi kritis, Kasidah Burdah biasanya dibacakan dengan harapan bisa mencegah malapetaka dan marabahaya.
Namun, meskipun Kasidah Burdah dibaca dengan begitu marak dan antusias di negeri ini, jarang sekali ada yang membacanya secara historis dan kritis. Padahal, jika kita telusuri sejarahnya, syair-syair yang sarat nilai sastra ini tidak berangkat dari ruang kosong.
Kasidah Burdah adalah sekumpulan syair tentang sejarah hidup Nabi Muhammad hasil gubahan seorang pujangga Mesir abad ke-13, Muhammad ibn Sa‘îd al-Bûshîrî (w. 1295). Nama asli kumpulan syair ini adalah Al-Kawâkib ad-Durriyyah fî Madh Khair al-Bariyyah (Bintang-bintang Gemerlap tentang Pujian terhadap Sang Manusia Terbaik). Namun, selanjutnya nama Burdah menjadi lebih dikenal luas karena sejarah pembuatannya yang terkesan spektakuler.
Alkisah, Al-Bûshîrî berinisiatif menggubah syair-syair pujian di kala dia terterpa musibah penyakit yang membuatnya harus berbaring di tempat tidur selama berbulan-bulan. Beberapa dokter yang didatangkan tidak mampu menyembuhkannya. Inisiatif ini muncul sebagai doa perantara demi kesembuhannya. Beberapa saat setelah gubahannya selesai, dia bermimpi didatangi Nabi Muhammad. Nabi mengusap-usap rambutnya dan menyelimutinya dengan burdah (baju hangat yang terbuat dari kulit binatang) yang biasa dipakai Nabi. Karena mimpinya ini, Al-Bûshîrî menjdi sembuh total dan esoknya dia bisa keluar rumah dengan segar bugar.
Burdah milik Nabi itu sendiri memiliki kisah historis yang panjang dan penting, sehingga memperkuat alasan kenapa nama Burdah lebih populer ketimbang nama aslinya.. Adalah Ka‘b ibn Zuhair (w. 662) yang pertama kali mendapatkannya dari Nabi sebagai hadiah atas syair-syair pujiannya terhadap Nabi Muhammad dan Islam setelah berkali-kali mencerca Nabi dan para pengikutnya. Setelah dia meninggal dunia, khalifah pada saat itu, Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân (w. 680), membelinya dari ahli waris Ka‘b dan memakainya pada setiap upacara resmi kenegaraan. Tradisi memakai burdah milik Nabi oleh para khalifah tersebut terus berlanjut hingga masa khalifah Utsmani. Dan setelah kekhalifahan Turki Utsmani runtuh, burdah Nabi tersebut disimpan di museum Topkavi di Istambul, Turki.
Di Indonesia, selain Burdah masih banyak kumpulan syair pujian terhadap Nabi Muhammad yang juga dilantunkan dalam ritual-ritual pembacaan shalawat, seperti Barzanji dan Diba’i. Namun, Burdah dianggap istimewa karena keunikannya dalam beberapa hal. Pertama, syair Burdah dianggap sebagai pelopor yang menghidupkan kembali penggubahan syair-syair pujian terhadap Nabi Muhammad. Kedua, syair Burdah memiliki kualitas sastra tingkat tinggi dan sarat pesan-pesan etis. Ketiga, syair Burdah tidak sekedar menyajikan sejarah Nabi Muhammad, namun juga memberikan beragam ajaran tasawuf dan pesan moral yang cukup mendalam. Dan keempat, syair Burdah dipercaya memiliki kekuatan magis, sehingga tidak jarang ia dibacakan pada saat ada hajatan tertentu, seperti hajatan membangun rumah.
Keistimewaan Kasidah Burdah ini diperkuat dengan kenyataan bahwa, selain mengundang banyak budayawan Muslim untuk memberikan komentar (syarh), popularitasnya mampu menembus perhatian para pemerhati sastra di Eropa. Hingga saat ini, syair-syair cinta Rasul ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa India, Pakistan, Persia, Turki, Punjabi, Swahili, Urdu, Indonesia, Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman dan Italia.
Dengan demikian, buku ini merupakan salah satu upaya menutupi kurangnya pembacaan shalawat Nabi, khususnya syair-syair Burdah Al-Bûshîrî, secara historis dan kritis sebagaimana disebut di atas. Dengan lacakan historis, Muhammad Adib, pengarang buku ini, membeberkan beragam sisi lain dari Burdah yang selama ini kurang tersentuh oleh umat Muslim Indonesia. Namun, sebagaimana tersirat dalam buku ini, posisi yang Muhammad Adib adalah posisi yang oleh Farid Essack disebut dengan critical lover, yakni upaya melakukan kritik demi memperteguh kecintaannya terhadap obyek kajiannya, dalam hal ini teks Burdah sebagai teks sastra. Pilihan ini bisa dipahami, mengingat Muhammad Adib adalah salah seorang pengajar di sebuah pesantren di Jawa Timur.
Posisi yang dipilih Muhammad Adib ini bisa dilihat dalam bab terakhir bukunya yang memberikan semacam pembelaan terhadap Burdah dari ”isu-isu miring” di sekitarnya. Isu pertama, terkait dengan cakupan Burdah yang mengandung sejarah Nabi Muhammad. Dalam analisis kesusastraan, fenomena semacam ini mengundang tarik-menarik antara teks Burdah sebagai teks sejarah atau teks sastra. Teks sejarah menuntut kesesuaian teks dengan peristiwa sejarah, sementara teks sastra menuntut kebebasan pengarang dalam mengekspresikan dirinya. Kenyataan Burdah sebagai teks sastra berarti mengakui ruang kemungkinan terhadap ketidak-sesuaian kandungan teks Burdah dengan sejarah Nabi Muhammad.
Mengambil inspirasi dari Muhammad A. Khalafullah (w. 1997), pengarang buku Al-Fann al-Qashashî fî al-Qur’ân al-Karîm yang kontroversial, Muhammad Adib menyatakan bahwa Burdah memang harus dilihat dengan kacamata kritik sastra, bukan dengan analisis historis yang baku. Pengarang Burdah tidak berpretensi mengungkap fakta-fakta sejarah kehidupan Nabi Muhammad, sehingga bukan tidak mungkin terdapat beberapa ketidak sesuaian antara teks dengan fakta sejarah Nabi.
Isu kedua, berkenaan dengan kekuatan magis yang dimiliki Burdah. Banyak kisah-kisah ajaib yang menggambarkan betapa syair Burdah punya kekuatan yang luar biasa, seperti kisah kesembuhan Al-Bûshîrî sendiri dari penyakit lumpuhnya atau kemampuannya menyembuhkan penyakit mata. Di saat hajatan, sebagian masyarakat membacakannya untuk mendapatkan keselamatan.
Menurut Muhammad Adib, perilaku magis semacam ini tidak bisa serta merta disikapi secara negatif atau dihakimi sebagai tahayul. Kepercayaan seperti ini berpangkal dari kepercayaan terhadap mukjizat yang memang diakui kebenarannya dalam agama Islam. Namun, Muhammad Adib menambahkan, perilaku seperti ini harus dilandaskan atas Tauhid yang kokoh agar tidak membahayakan keimanan pelakunya.
Isu ketiga, isi Burdah mengandung pemujaan berlebihan, bahkan mendekati pengkultusan, terhadap Nabi. Bagi Muhammad Adib, pemujaan sebagaimana terdapat dalam Burdah harus dipahami dalam konteks sastra Arab yang cenderung hiperbolis dan mendayu-dayu, terutama saat menghormati dan memuji seseorang. Selain itu, cita rasa linguistik (dzauq al-lughah) adalah sesuatu yang relatif, bisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Sehingga, berhubung Burdah adalah teks sastra, maka cara untuk memahaminya tentu tidak bisa secara literer.
Sumber http://machdierhama.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar