Selasa, 18 Oktober 2011

Hukum Nadzar


Apa sebenarnya hukum syari'at mengenai nadzar?
Secara syari'at, hukum nadzar adalah makruh. Dalam hal ini ada hadits shahih dari Nabi, bahwa beliau melarang melakukan nadzar.
"Sesungguhnya ia tak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil."(HR.Bukhari, al-iman: 6608-6609; Muslim, an-nadzar: 1639-1640)
Hal itu karena sebagian orang bila sudah sakit, rugi, atau disakiti barulah ia bernadzar akan melakukan sedekah, menyembelih qurban, atau menyumbang uang bila nanti telah disembuhkan dari penyakit atau tidak merugi lagi. Dia berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyembuhkannya atau membuatnya beruntung kecuali bila dia melakukan nadzar tersebut. Maka dalam hadits tersebut, Nabi memberitahukan bahwa Allah tidak akan merubah sesuatu pun dari apa yang telah Dia takdirkan akan tetapi hal itu adalah perbuatan orang bakhil, orang tidak mau berinfaq kecuali setelah memasang nadzar.
Bila nadzar tersebut berupa ibadah seperti shalat, puasa, sedekah atau i'tikaf maka harus ditepati. Tetapi bila ia bernadzar maksiat, seperti membunuh, berzina, minum khamr atau semisalnya maka tidak boleh menepatinya tetapi dia harus membayar kafarat sumpah, yaitu memberi makan sebanyak sepuluh orang miskin dan sebagainya.
Bila nadzar tersebut sesuatu yang mubah (diperbolehkan) seperti makan, minum, pakaian, berpegian, ucapan biasa atau semisalnya maka dia diberikan pilihan antara menepatinya atau membayar kafarat sumpah. Bila berupa nadzar melakukan ketaatan kepada Allah, maka dia harus mengalokasikannya kepada kaum miskin seperti makanan, menyembelih kambing atau semisalnya. Dan jika ia berupa amal shalih yang bersifat fisik atau materi seperti jihad, haji, dan umrah, maka dia harus menepatinya.
Bila dia mengkhususkannya untuk suatu pihak maka dia harus menyerahkannya kepada pihak yang telah dikhususkan tersebut seperti masjid, buku-buku, atau proyek-proyek kebaikan dan tidak bileh mengalokasikannya kepada selain yang telah ditentukan tersebut.

Sumber : Majalah Islam Ar-Risalah dengan sedikit pengeditan
Dari uraian yang dikutip dari majalah di atas, dapat kita simpulkan bahwa sebagai orang Islam, sebaiknya kita tidak melakukan nadzar, nadzar yang baik sekalipun. Sebab, dibalik nadzar tersebut, kita telah seolah-olah memperbudak Allah. Lha kok? Mari kita renungkan sejenak.
Bisa dibilang, tujuan utama kita bernadzar adalah agar permintaan kita dikabulkan oleh Allah. Bila tidak dikabulkan, maka kita tidak melakukan nadzar kita. Sedang bila dikabulkan, maka kita akan melakukan nadzar kita.
Dari uraian paragraf di atas, bisa kita ambil analogi sebagai berikut. Seorang bos meminta pegawainya mengerjakan suatu tugas. Ia menjanjikan kepada pegawainya itu, bahwa dia akan diberi bonus bila dia dapat mengerjakan tugas dengan baik. Bila dia gagal mengerjakannya, maka dia tidak mendapat bonus. Bila dia mampu, maka si bos akan menepati janjinya untuk memberinya bonus.
Anda tentu sudah paham dan dapat menebak siapa yang dianalogikan sebagai bos dan siapakah pegawainya. (Tiada maksud dan tujuan untuk merendahkan Dzat yang Maha Tinggi, Allah SWT. dan tidak pula untuk meninggikan makhluk yang hina, manusia.)
Bila Anda telah membaca hingga paragraf ini, maka Anda pasti akan setuju dengan hadits Nabi di atas bahwa "Sesungguhnya ia tak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil."
Apakah kita tetap akan memperkerjakan Allah sebagai pegawai?
Apakah kita sadar, bahwa sesungguhnya Allah tidak memerlukan semua yang kita nadzarkan?
Dan bukankah beramal itu hanya ada dua syarat, yaitu mengikuti petunjuk Nabi dan ikhlas?
Bila Anda setuju bahwa syarat beramal itu hanya dua hal di atas, lantas mengapa Anda membuat syarat-syarat lain untuk beramal (dengan nadzar)?
Apakah Anda ingin memperkerjakan Pencipta Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar