Jumat, 14 Oktober 2011

PENGETAHUAN TEKNOLOGI

POLA industrialisasi otomotif berbasis agen tunggal pemegang merek yang selama ini diterapkan di Indonesia, kurang mampu mendorong lahirnya produk mobil nasional. Sebab, pola ini dinilai hanya menghasilkan produksi bermerek prinsipal. Kemampuan industri otomotif mandiri bisa tercipta, kalau pemerintah berani menerapkan pola lisensi yang disertai dengan kebijakan pendukung.Bila melihat kemajuan industri otomotif Cina, India, Malaysia, Iran, Korea Selatan, bahkan Jepang, maka terdapat satu kesamaan pola industrialisasi otomotifnya. Mereka semua memakai pola berbasis lisensi dan royalti.

Jepang membeli banyak lisensi mobil dari berbagai pabrikan dunia 1920-an. Salah satunya adalah Jeep Willys, yang kemudian dikembangkan menjadi Jeep produk lokal Mitsubishi. Begitu pula Malaysia yang membeli lisensi Mitsubishi untuk membangun merek lokal Proton dan perusahaan Tata bekerja sama dengan Mercedes-Benz.

Pakar desain yang juga mantan petinggi di salah satu perusahaan otomotif Mizan Allan de Neve mengatakan, dengan cara lisensi akan diperoleh akses teknologi otomotif secara cepat. Ini karena pabrikan menjual hak pengetahuan teknologi kepada pemegang lisensi. Agar pola lisensi berhasil, perlu dukungan pemerintah, seperti Malaysia. Negara itu pertama melakukan alih teknologi di sektor hilir, dengan cara mewajibkan pembuat komponen-komponen mobil mendirikan pabrik di Malaysia. Mereka harus menggandeng partner lokal yang sahamnya dimiliki mayoritas oleh perusahaan lokal.


Berbekal proteksi lokal, harga jual mobil Proton jauh lebih murah, sehingga warga Malaysia membelinya. Tapi, setelah industri komponennya sudah 100% lokal, Proton membuat model baru yang harganya lebih mahal dibanding sebelumnya. Hasilnya industri mobil Malaysia selalu berkembang dinamis dan industri komponen lokal pun tumbuh pesat.

Produk mobil nasional penting bagi satu negara, karena bisa memberikan efek berantai yang luar biasa besar bagi perkembangan industri dalam negeri, khususnya industri dasar baja. "Otomotif merupakan mother of industry atau ibunya industri. Di belakang industri bisa berkembang 7 hingga 8 lapis pemasok bahan baku, sehingga pemerintah pun akan diuntungkan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat," kata Mizan.

Dijelaskan Mizan, Indonesia sangat mungkin melahirkan merek otomotif sendiri. Untuk itu, diperlukan integrasi antara industri, pemerintah, universitas, untuk membangun industri otomotif dalam jangka panjang.

"Saya yakin itu tidak sulit, negara-negara lain bisa memanfaatkan pola lisensi. Mengapa Indonesia tidak mengadopsi langkah itu. Negara tidak rugi, karena kalau dihitung aliran arus pendapatan ke pemerintah bisa lebih tinggi daripada pola ATPM," kata dia.

Memang di awal harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli lisensi, tetapi seiring tumbuhnya industri komponen pendukung akan menghasilkan pendapatan pajak yang besar. Apalagi, nilai tambah produksinya bisa dinikmati masyarakat Indonesia.

Indonesia sejak 1970-an menganut pola industrialisasi otomotif berkarakter ATPM, dengan mendirikan basis produksi di dalam negeri. Memang, menjadi basis produksi membuka lapangan pekerjaan dan memberikan tambahan pendapatan pajak bagi pemerintah. Tapi, sebagian besar keuntungan penjualan dinikmati pihak prinsipal yang berada di luar negeri.

Pola berbasis ATPM dinilai tidak bisa 100% menghasilkan alih teknologi secara tepat, untuk menjadi satu negara yang mampu memproduksi produk otomotif lokal. Hal ini, karena prinsip dasar ATPM adalah berdagang yang mencari komponen berharga murah, bagus, dan mampu diproduksi cepat untuk bersaing. Mereka tidak segan memanfaatkan produk komponen luar negeri, sehingga cenderung tidak terjadi penguatan kemampuan industri komponen lokal.

**

MENURUT Trisakti Wisnuadji dari SMART OTOMOTIF working group klaster komponen otomotif Jawa Barat, sebenarnya pemerintah di zaman Presiden Soeharto sudah menyadari ada kekurangan dengan pola pengembangan industri otomotif dekade 1990-an. Proteksi yang diberikan untuk menumbuhkan industri komponen lokal ternyata memiliki kelemahan. Salah satu penyebabnya adalah pelaku industri otomotif mayoritas adalah pedagang, sehingga tidak terjadi pendalaman kemampuan seperti yang diharapkan.

"Kelemahan dari pedagang adalah segala sesuatu yang menguntungkan untuk dimanfaatkan. Pemerintah memberi insentif pajak untuk lokal konten itu juga diambil, karena perhitungan bisnisnya menguntungkan. Tapi, begitu subsidi hilang ya kembali ke kondisi normal," kata Wisnu.

Pemerintah pun sadar sehingga memunculkan konsep pertumbuhan akselerasi mobil nasional. Di Indonesia pun sempat muncul berbagai konsep mobil nasional, yaitu Bakrie, Maleo, Texmaco, dan Timor. Sayang krisis moneter mengakhiri lahirnya mobil nasional secara utuh.

Menurut Wisnu, dari sisi desain, sebenarnya perusahaan lokal Indonesia sudah melangkah maju dibandingkan perusahaan otomotif Jepang. Dia sempat melihat prototipe mobil Bakrie yang desainnya mirip dengan Innova.

Saat ini, untuk memproduksi mobil nasional dibutuhkan seorang industrialis nasionalis yang memiliki modal besar, seperti Tata Motors, India. Indonesia sudah memiliki jago desainer berkelas global, seperti Christian Lesmana. Tidak hanya itu ada pakar mesin seperti Wiranto Arismunandar, dan Suparto Soejatmo. Kini, yang diperlukan adalah mempertemukan mereka semua dengan pengusaha yang mau mengembangkan industri mobil nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar